Tanpa sadar ibu sudah ada di kamarku, terlihat pipinya merona, membulat. Bibirnya menyungging senyum sampai terlihat giginya berbaris rapi, memberikan senyuman terindah khas ibuku. Ada sesuatu yang bisa ku baca namun kubantah diriku untuk berkata, bahasa verbal membuatnya lebih bernyawa. Kubalas dengan menatapnya penuh makna memberikan senyuman terindah yang ku punya.
Dia lalu memeluk tubuhku seperti bayi pertamanya yang selesai di bedong, dinina bobokan dengan lagu cinta. Aku sedikit kaku dan kikuk dibuatnya tapi kuikuti saja alurnya, mataku memejam merasakan hangat setiap aliran pembuluh darah yang mengalir, tubuhku seakan menyusut kembali ke 22 tahun silam seperti balita yang manja oleh rengekan. Ku sandarkan kepalaku di bahunya lebih lama.
Dia membelaiku dengan cinta, tangannya terasa lembut meski hapir setengah abad umurnya dimakan usia. Kudengar dia mengucapkan banyak doa, mengalir deras dari mulutnya..
"Moga jadi anak soleh, moga digampangkan rejekinya, dimudahkan jodohnya, dilancarkan urusannya, jangan gampang cemberut apalagi marah, disehatkan lahir batin, sukses dunia akhirat".
"Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin".
"Amin".
"Amin".
"Amin".
"Amin".
"Aminnnn". ucapku kegirangan.
Bibirku tersenyum mataku berkaca. Makin erat pelukanku sampai doyong ke kiri, sambil kucium pipinya. Aku seperti bocah ingusan yang habis dibelikan mainan robot-robotan. Aku kegirangan. Aku menrindui pelukan yang sudah lama tak kurasai, yah lama sudah. Aku yang malang fakir kasih sayang.
Pernah kudengar teorinya Pak Ridwan Kamil, kata beliau :
"Ketika berpelukan dengan orang yang kita sayang (muhrim yah :D) selama 20 detik, pada detik ke 15 akan menghasilkan semacam hormon yang dapat menghilangkan stress".
Tepat sekali Pak, Itulah yang kurasakan.
Perlahan kutatap wajahnya, senyum masih membekas di pipinya. Apalagi aku yang dirundung bahagia dan haru, tadinya tak ingin ku lepas pelukan itu. Tapi aku malu. Kau tak lihat wajahku ? Lagi pula waktu sudah mengharuskan aku pergi ke kantor. Yah, anggap saja hari ini ulang tahunku. Karena aku tak pernah tau pasti kalau 28 November ini kelahiranku, toh aku tidak pernah menyaksikannya langsung. Ya mungkin sewaktu ibuku melahirkanku, karena saking bahagianya bisa saja keliru melihat tanggal. Padahal yang sesungguhnya aku lahir tanggal 28 Januari misalnya ? Who know ? terdengar konyol dan bodoh yah. Ah biarlah.
Dan satu hal yang diajarkan orang tuaku, bahawa tak pernah ada ritual khusus ketika hari kelahiran. Seperti ajaran Yunani di abad pertengahan kepada seorang Dewi Bulan. Dewi Artemis dengan tiupan lilin dan kue ulang tahunnya. Yang sakral kebanyakan orang rayakan, dan tak pernah sedikitpun ajaran Islam ajarkan. Aku tak mau meniru itu.
Kejadian ini tak pernah aku bayangkan dan perhitungkan, membuat aku ingin mengulanginya lagi. Takkan pernah hilang atau mati, tersimpan dalam memori jauh di lubuk hati. Kehatangan yang masih kurasakan mengalir deras dari pembuluh nadi, deras bagai aliran sungai tak bertepi.
Kau tau ibu? engkau satu-satunya orang yang paling memahami. Tak pernah kau berucap agar anakmu ini harus membalas budi. Habis sudah kataku untuk gamabarkan semua kebahagian yang kualami, bahkan sekedar ungkapan atau puisi. Kau tau ibu ? ingin ku ulangi kebahagian pagi tadi.
Terima kasih Ya Rabbi.
Komentar
Posting Komentar